Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 Mei 2012

Sahabat....


Milie menangis dipangkuanku ketika aku menyempatkan diri datang kerumahnya sore itu atas undangannya. Aku terkejut dengan apa yang baru saja Milie ceritakan padaku. Aku sama sekali tak pernah menduga akan semua itu. Milie memegang erat tanganku.
Aku jadi bingung dengan sikap Milie.

“aku telah salah menilaimu, aku minta maaf…aku benar-benar minta maaf .”  Milie berkata disela-sela isaknya.

“kenapa kamu ceritakan semua ini sama aku Mil..?  aku bertanya seraya membangunkan Milie dari pangkuanku.

“Aku gak kuat menahan rasa yang bertentangan denganku, aku gak mau kamu tersakiti..kamu orang baik yang pernah aku kenal.”  Milie berkata sambil menghapus air matanya.

“tapi kenapa? Bukannya kamu juga menjauhiku hari-hari kemarin?” tanyaku.

“ itu lah kenapa aku minta maaf, aku menyesal dan aku baru sadar dengan siapa aku berteman  kamu boleh marah, aku hanya ingin kamu memaafkanku.“ Milie duduk disebelahku.

“Milie..coba lihat aku, apa aku kelihatan marah sama kamu? sama mereka yang dengan sengaja ingin berbuat jahat padaku? seperti ceritamu itu?.

Milie menggelengkan kepalanya, mencoba menatapku dengan sisa isaknya

“aku hanya tak mengerti alasan mereka berfikiran seperti itu Milie, aku hanya tak mengira sejahat itu niat mereka terhadapku, apa sih salah yang telah aku perbuat sama mereka?”  tanyaku pada Milie.

Milie menggelengkan lagi kepalanya.

Aku teringat kembali  ketika hari-hari kemarin beberapa teman sekelas  menjauhiku, ada yang terang-terangan, ada juga yang hanya menatapku bingung, ingin bertanya tapi tak berani. 
Aku mencoba bersikap biasa tak ku hiraukan dan fikirkan mereka yang mulai menyindirku dengan kata-kata kiasan. 
Aku hanya diam dan tersenyum mendengarnya. Aku hanya tahu aku tak melakukan hal yang salah menurutku.

Milie memintaku agar aku tak masuk sekolah besok. Alasannya hanya karena dia takut terjadi sesuatu sama aku. Jelas saja aku menolak, apa alasanku?.

“kenapa sih kamu diam saja! kenapa gak kamu balas saja perlakuan mereka sama kamu?” tanya Milie.

“gak apa-apa Milie, kamu tak usah takut, aku yakin kok Allah akan melindungiku”. Jawabku menenangkannya.

“tapi mereka mau menyakitimu?”  Milie berusaha mencegahku.

“Milie, jika aku membalas perlakuan mereka sama saja aku membenarkan  apa yang ada dalam fikiran mereka. Semoga saja suatu saat nanti mereka akan menyadari kesalahan yang telah mereka lakukan kepadaku. Aku tahu posisiku Milie. Kita berdua tahu bahwa kita bukan orang-orang seperti mereka.”

Milie menyerah dengan keputusan ku.

“ baiklah, tapi tolong kita rahasiakan ini yah. Aku gak sekuat kamu.?” pinta Milie.

Aku mengangguk. Memahami posisi Milie saat itu.

Tiba di sekolah hari itu membuatku semakin kuat, bukan saja karena aku sudah tahu rencana jahat mereka, tapi karena aku yakin itu tak akan terjadi kepadaku. Aku punya DIA yang menjagaku.

Membereskan tas dan buku-buku ku dalam loker dan mengambilnya beberapa untuk pelajaran pertama. Dengan tenang ku lewati kumpulan teman yang dulu bersamaku. Sikap mereka terlihat lain dan senyum mereka tersembunyi.
Tak  ada masalah bagiku kehilangan beberapa teman. Sementara masih banyak teman yang mau bersamaku. Jadi ku lewati  saja keadaan ini.

Milie melirikku sebelum duduk dikursinya. Ada rasa sedih tersirat diwajahnya, tapi aku tahu dia berusaha menutupi semua itu.
Aku bersahabat dengan Milie sejak pertama masuk disemester 3. Seorang Milie yang sederhana. Aku senang berteman dengannya. Keluarganya menyambut hangat diriku yang saat itu sedang membutuhkan sebentuk rasa kenyamanan dalam keluarga. Mungkin karena begitu dekat jadi aku tak marah saat dia menjauhiku. Aku tahu Milie yang sebenarnya.

Semua berjalan sesuai rencanaku dengan Milie, aku berpura-pura tak tahu apa-apa saat salah satu temanku mengajak kekantin pulang sekolah . 

“ada apa..?” tanya ku saat tiba dikantin.

Bicaraku agak dingin dengan orang-orang ini, aku tahu mereka pura-pura baik kepadaku jadi ku ikuti saja rencana mereka. Sejujurnya saat Milie menceritakan semua rencana itu kepadaku hatiku merasa sakit, bagaimana tidak?! Teman yang selama ini bersamaku,bercanda, tertawa, tenyata mempunyai niat jahat terhadapku. Aku tak habis fikir karenanya.

Aku dikenalkan dengan seorang cowok yang kira-kira usianya tak jauh beda daripada ku santai saja ku ikuti semua rencana itu. Tak lama satu-satu mereka meninggalkanku, alasannya mau beli sesuatu diperempatan dekat sekolah. Aku hanya mengangguk, ku lihat Milie enggan beranjak dari duduknya tapi kemudian tangannya diraih untuk ikut meninggalkanku. Aku memberinya senyuman..”jangan takut Millie  aku baik-baik saja” batinku. 
Ku pandangi mereka hingga hilang dibalik tembok sekolah.

Dikantin itu masih banyak  anak-anak yang sedang bercengkrama menunggu bel masuk berbunyi. Aku  duduk berhadapan bersama dia cowok yang baru saja aku kenal dan sesekali menjawab pertanyaannya dengan santai. 

Roy nama cowok itu, seakan lupa dengan tugas yang diberikannya  dia asyik menceritakan pengalamannya saat dikejar polisi karena tak sadar menerobos lampu merah. Untung saja dia berhasil lolos. Memperhatikan gaya bicara dan sikapnya aku yakin dia bukan orang yang seperti aku kira. Jadi ku biarkan saja diriku larut dalam ceritanya. 

Sudah semakin siang, kumpulan anak-anak yang tadi bercengkarama satu-satu telah beranjak dan aku rasanya harus mengakhiri semua ini, aku tak ingin orang rumah khawatir dengan keterlambatanku.

“Roy.. maaf  aku harus pulang.” kataku mengakhiri obrolan siang itu.

“oh..iya  aku kok jadi lupa, keasyikan cerita sih..?!” sadarnya.

Aku berdiri mau meninggalkan kantin saat Roy menahanku.

“eh..sebentar, aku mau bicara denganmu” katanya serius.

“ada apa?” kataku berusaha menenangkan diriku, dalam hati aku berdoa semoga saja dia tak ingin meneruskan semua rencana  jahat yang dibuat teman-temanku.

“mm.. aku mau minta maaf..” katanya lagi pelan.

Aku duduk kembali dimeja berhadapan dengannya.
“ada apa Roy kenapa kamu harus minta maaf ?.” tanyaku berpura-pura. Hanya ingin tahu saja.

“sebenarnya aku kesini …....” Roy memulai pembicaraan serius.

“iya aku tahu.. Dan aku juga tahu apa yang mungkin saja kalian lakukan kepadaku. Kalian belum melakukan kesalahan, kenapa harus minta maaf ?.” potongku saat Roy mau melanjutkan kata-katanya.

Roy dan temannya terlihat agak terkejut mendengar perkataanku. Mereka berpandangan lalu menatapku seakan tak percaya. 

“iya. Aku tau maksud kalian yang sebenarnya!” jawabku ketika melihat mereka memandangiku heran. Lalu lanjutku.
“apa kalian akan melakukan rencana jahat itu padaku..?”  tanyaku pada Roy dan temannya. Mereka terdiam.

“aku tahu sebenarnya kalian tidak seperti itu, apa sih yang akan kalian dapatkan setelah rencana itu terlaksana? Kepuasan? kegembiraan? Sementara aku? Apa kalian tak memikirkan perasaanku? Kehidupanku..nanti?  apa mungkin kalian tidak takut dengan balasannya?”  panjang ku tanyakan semua itu. Ku ceritakan saja semua apa yang sebenarnya terjadi.

“ Tadinya aku setuju dengan usulan mereka karena dari perkataan mereka tentangmu sepertinya kamu orang yang terlalu sombong dengan gayamu, lagi pula aku juga tak menyukai orang seperti itu! Tapi setelah berbicara denganmu, sepertinya aku menjadi orang yang paling jahat jika ku lakukan rencana mereka untuk merusakmu, aku tak percaya dengan omongan mereka, tak mungkin orang sepertimu bersikap seperti itu.  Aku tak melihat keangkuhanmu  atau apalah namanya. Aku jadi tak habis fikir, mereka mau menyakiti mu hanya karena  kamu tak mau menerima sahabat mereka jadi pacar kamu? Dan mereka juga tak suka jika kamu menyukai seseorang yang menurut mereka tak pantas untukmu?  Hhhh… “ Roy menarik nafas panjang.

“Begitulah Roy, bisa kamu bayangkan sakitnya hati aku saat tahu mereka merencanakan ini semua. Setiap orang punya rasa yang berbeda Roy.  Mereka memandang rendah aku, menurut mereka aku tak berhak menyukai orang seperti orang yang aku suka ini Roy, mereka fikir aku seperti pungguk merindukan bulan  dan  saat itu aku memang dekat juga dengan sahabat mereka tapi kita tak lebih dari teman dan aku tak bisa menjadikannya  lebih dari itu  dan dia (cowok ini) mengerti hal itu, dia juga tahu siapa orang yang aku suka.  Aku tak ingin membalas sakit hatiku pada mereka Roy , biarlah nanti waktu yang akan bicara “. Ku katakan saja perasaanku saat itu.

Roy diam mendengarkan ceritaku, seperinya dia mulai memahami apa yang terjadi.
“ Tapi kenapa mereka sejahat itu ya sama kamu?” tanya Roy.

“entahlah..hanya mereka dan fikiran mereka yang tahu!” jawabku.
“sudahlah Roy..aku mau pulang, terimakasih sudah mau mendengarkanku ”. Kataku lagi sambil berdiri dan mulai melangkah meninggalkan kantin.

Roy menjajari langkahku, menawariku untuk pulang bersamanya, aku menolaknya halus aku tak ingin niat baiknya tadi berubah.  tapi dia memberi ide baru kepadaku. Dia memintaku naik mobil bersamanya dan sengaja melewati perempatan agar mereka melihat aku pergi bersamanya, dengan begitu mereka akan mengira rencana mereka berhasil.

“maaf Roy..aku tak bisa..” tolakku halus.

“ baiklah.. maafkan aku karena berprasangka buruk tentang dirimu”. Pelan Roy berkata.

“ sama-sama Roy, aku juga minta maaf karena tadi sempat menilai buruk dirimu.”
kataku dan berlalu meninggalkan Roy dan temannya di parkiran.  

Terbayang wajah-wajah sinis mereka yang tertawa mengira rencana mereka berhasil. Dalam bus aku sempat berdoa, mengucapkan terikasih karena Allah telah melindungiku dari niat jahat teman-temanku.

Pagi itu aku seperti biasanya berangkat lebih pagi, aku tak ingin terlambat karena ini hari tugasku memimpin upacara bendera.  Ruang kelas terlihat sepi ada beberapa tas yang tergeletak dimeja. Semenit kemudian Milie masuk dan langsung menghampiriku, dari wajahnya aku tahu dia begitu khawatir. Aku tersenyum kearahnya, membuat dia sedikit mengernyitkan dahinya.

“aku minta maaf…” ku tahan suara Milie untuk tidak meneruskan kata-katanya.

“aku baik-baik saja…” kataku sambil tersenyum.

“tapi…kemaren..?”  tanya Milie bingung.

“oo.. itu, mereka orang baik-baik kok malah jadi temenan sekarang, semua baik-baik saja Milie, tak terjadi sesuatu sama aku “. Jelasku.

“Hh…syukurlah, aku sudah gak enak meninggalkanmu, tapi aku gak ingin melihat mereka curiga “. Milie  menarik nafasnya.

Milie dan aku masih duduk bersebelahan saat mereka datang, aku agak terkejut ketika  Milie tak beranjak dari tempat duduk ku. Milie seakan tak perduli dengan kedatangan mereka dan itu membuat mereka terkejut.

“kenapa.?” Kataku pelan.

“aku sudah menentukan kepada siapa aku harus berteman, aku gak mau persahabatanku denganmu hancur hanya gara-gara keegoisan mereka”.  Tenang Milie menjawab heran ku.

Bel berbunyi semua berbaris rapi dihalaman, memandang kedepan mengikuti setiap susunan upacara hingga selesai. hari itu berlalu dengan sewajarnya.

Tak ada kata yang terucap hingga aku meninggalkan sekolah bertingkat berwarna hijau itu, semua berlalu dalam kata yang tersembunyi.

“aku telah memaafkan kesalahanmu juga dengan rencana jahatmu terhadapku.. aku tahu mana yang terbaik untukku, karena bukan kamu-kamu yang menentukan jalanku, tapi diriku sendirilah yang bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah, suatu saat kamu-kamu akan tahu bahwa apa yang kamu lakukan kepadaku itu salah…..”

Sepertinya aku mendapatkan satu pelajaran penting tentang arti sahabat.
Hanya sahabat sejati yang bisa mengerti apa yang diperlukan, diam saat dimana dia harus diam, dan menentukan sikap mana yang bisa membuat kebaikan bukan keburukan. Ada dalam suka , ada dalam duka, tak mengusik jika tak terusik. Mau mendengarkan, juga mau memberi / menerima kritikan. 

Milie sahabatku menjadi wanita yang selalu menebarkan kelembutan, dia telah belajar banyak tentang itu. 

Aku.. aku masih setia dengan buku juga tulisanku, membawaku dalam setiap pengembaraan kata-kata. Dan,

Mereka .. mereka masih sama seperti yang dulu, walau penampilan berubah tapi hati dan sifat mereka masih terlihat sama dimata ku. 

Seorang sahabat lagi .. telah menjadi seorang pengusaha, baik, santun dan tetap setia menemani ku saat aku membutuhkan dirinya.
Tak bisa ku pungkiri mereka semua telah menjadi bagian dari kisah perjalanan panjang hidupku. Tertulis dalam memori yang mungkin akan terkubur seiring berjalannya waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar